Teguh Santosa dan Korea Utara
Oleh : Hendro Saky
Penulis adalah Ketua JMSI Aceh
DALAM perjalanan ke Bandung beberapa waktu lalu, saya menumpang mobil Teguh Santosa. Berangkat dari Jakarta, kami menelusuri jalanan ibukota menuju kota dingin itu. Banyak topik yang kami perbincangkan, dari soal organisasi Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI), politik nasional, hingga soal geo-politik negara-negara yang pernah dikunjunginya.
Bicara tema politik, Teguh sangat menguasai persoalan. Penjelasannya yang dibangunnya dibarengi dengan teori-teori dari buku bacaan. Maklum, selain sebagai Ketua Umum JMSI, pria yang juga menjabat sebagai CEO RMOL.ID itu adalah dosen hubungan internasional di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Waktu tempuh yang agak panjang menuju Bandung, tidak saya sia-siakan untuk banyak bertanya, dan menimba ilmu dari Teguh Santosa.
“Sebenarnya bagaimana Korea Utara itu, Bang. Sebab selama ini opini yang dibangun tentang negeri itu agak miring. Bias informasi kerap terbangun,” tanyaku padanya.
Pertanyaan itu saya ajukan bukan tanpa alasan, sebab rekam jejak Teguh tentang Korea Utara sangat baik. Dia beberapa kali berkunjung kesana, hingga mendapatkan dua bintang kehormatan dari negara itu.
Pasca kejatuhan Uni Soviet, Korea Utara sempat mengalami kegamangan. Ada kegundahan, dan proses menuju normalisasinya sangat panjang, terang Teguh.
Kim Il Sung, pemimpin Korea Utara saat itu, berhasil membawa Korea Utara keluar dari krisis pasca kejatuhan Uni Soviet. Persoalan utama kala itu adalah stabilitas politik, pondasi ekonomi, termasuk bahan pangan, katanya lagi.
Ketika masih menjadi satelit Uni Soviet, Korea Utara mendapakan berbagai kemudahan, di bidang pertahanan, ekonomi, infrastruktur, teknologi, dan sebagianya. Sungguh kehancuran Uni Soviet berpotensi menjadi krisis multi-dimensi di negara itu, papar Teguh lagi.
Rakyat Korea Utara itu sangat displin, mereka punya ketahanan dalam menghadapi masalah. Itulah yang membuat negara itu dapat bangkit dari krisis besar, terangnya lagi.
Teguh sangat paham geo-politik Korea Utara. Ia kerap diundang ke negara itu dan bahkan dalam berbagai forum ia kerap menjadi pembicara untuk isu Semenanjung Korea. Pengetahuan Teguh tentang negeri itu dibangun dari berbagai bacaan, serta kunjungannya secara langsung.
Pada kesempatan berbeda, saya juga pernah mengajukan pertanyaan, kenapa memilih Korea Utara sebagai fokus studi. Dia menjawab, dirinya suka memikirkan negara-negara yang sedikit orang memikirkannya.
Kembali pada persoalan Korea Utara. Teguh melanjutkan bahwa, kehidupan sosial di negara itu sama seperti negara lain. Warganya banyak bertani dan bekerja pada sektor industri. Infrastruktur di sana juga cukup baik, tidak seperti bayangan orang selama ini mengenai Korea Utara yang didapat dari bacaan media.
Kemaren saya dapat kabar dari Mahmud Marhaba, rekan di JMSI, bahwa Teguh Santosa terpilih sebagai Ketua Umum Persahabatan Indonesia Korea Utara (PPIK). Tentu itu bukan hal yang mengejutkan. Dia memang pantas mendapatkannya.
Dia belajar banyak mengenai Korea Utara dari Almarhumah Rachmawati Sukarnoputri yang mendirikan PPIK. Kunjungan pertama Teguh ke Korea Utara adalah di tahun 2003. Ketika itu ia menjadi utusan Rachma.
Di tahun 2015, Rachma kembali mengutusnya ke Pyongyang. Kali ini membawakan Star of Soekarno yang diberikan Yayasan Pendidikan Soekarno (YPS) — yang juga didirikan Rachma — kepada pemimpin Korea Utara, Kim Jong Un.
Di luar itu, Teguh kerap membawa rekan-rekannya ke Korea Utara. Alasannya, agar dia tidak sendirian dan semakin banyak orang yang memiliki pengalaman langsung berinteraksi dengan Korea Utara dan masyarakat negara itu.
Di tahun 2017 ia membawa budayawan dan pendiri Museum Rekor Indonesia-Dunia (MURI) Jaya Suprana ke Korea Utara. Di tahun 2018, ia ke Pyongyang bersama mantan menteri, bos media dan wartawan senior Dahlan Iskan.
Sebagai sahabat Teguh Santosa, saya mengucapkan selamat atas amanah barunya, semoga hal itu dapat semakin menguatkan persahabatan Indonesia dan Korea Utara di masa depan. Selamat ya Teguh Santosa.