Masa Kerja Dianggap Nol Tahun, Picu Konflik Dosen & Tendik
YOGYAKARTA, Suarasumsel.net — Kontrak Kerja P3K (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) PTNB (Perguruan Tinggi Negeri Baru) masih menyisakan banyak masalah bagi dosen dan tenaga kependidikan (tendik). Permasalahan muncul karena masa kerja dianggap 0 tahun, jabatan akademik yang diakui hanya sampai magister.
Pengembangan karir macet dan dosen tidak diperkenankan melanjutkan studi selama kontrak berlangsung. Derajat akademik doktor juga tidak diakomodasi. Hal ini menimbulkan rasa frustasi bagi mereka yang sudah meraih gelar doktor dengan perjuangan panjang.
Demikian ungkap Ketua Forum P3K UPNV (Universitas Pembangunan Nasional Veteran) Yogyakarta, Arif Rianto yang didampingi Ketua ILP PTNB (Ikatan Lintas Pegawai-Perguruan Tinggi Negeri Baru) Dr. Dyah Sugandini, M,Si.
“Masa kerja yang dianggap 0 tahun dalam kontrak berdampak pada penurunan standar gaji yang sangat besar, berkisar 1-2 juta per bulan bagi setiap pegawai,” ujar Dyah Sugandini.
Sementara itu, bagi yang masih menempuh studi doktoral menjadi patah semangat karena diwajibkan memilih melanjutkan studi atau terikat kontrak. “Berbagai masalah tersebut membuat dosen dan tenaga kependidikan resah. Mereka menuntut Kemendikbudristek dan Kemenpan-rb untuk merevisi kontrak kerja,” tegas Dyah Sugandini.
Sementara itu, Arif Rianto menambahkan, kontrak kerja juga bertabrakan dengan banyak Surat Keputusan (SK) dari Kemendikbudristek sendiri. Yaitu, SK tentang sertifikasi dosen dan SK jabatan fungsional yang sudah terlebih dulu terbit, menjadi tidak memiliki kekuatan hukum.
“Kontrak P3K yang dianggap cacat hukum ini, apabila ditandatangani akan berdampak panjang bagi institusi perguruan tinggi. Jabatan akademik doktor yang tidak terakomodasi menyebabkan akreditasi institusi, program studi juga langsung terjun bebas,” papar Arif Rianto.
Karir dosen dan tendik yang macet menyebabkan perguruan tinggi tidak dapat memenuhi syarat-syarat administrasi akreditasi karena data tidak sesuai dengan Pangkalan Data Dikti (PDDIKTI).
“Permasalahan kontrak P3K ini muncul disebabkan oleh tumpang tindih dan tidak sinkronnya peraturan yang melatarbelakangi kebijakan penegerian 35 PTS di seluruh Indonesia,” tambahnya.
Seperti diketahui, hingga tahun 2014 di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono, pemerintah mengalihstatuskan 35 PTS menjadi PTN. Dalam alih status PTS tersebut, ternyata Sumber Daya Manusia (SDM) di setiap universitas tidak otomatis menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Masalah SDM ini lalu menjadi berlarut-larut selama bertahun-tahun karena tidak diselesaikan dengan baik. Baru pada tahun 2016, pemerintahan Jokowi menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 10 tahun 2016 tentang Pengangkatan P3K PTNB.
Dalam Perpres ini disebutkan bahwa pegawai P3K yang diangkat nantinya akan memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan PNS. Berdasar Perpres ini, pengangkatan P3K PTNB memiliki kekhususan dan masa kerja yang sudah dijalani oleh setiap dosen dan tenaga kependidikan tetap diakui.
Akan tetapi, Perpres tersebut tidak dapat langsung dilaksanakan karena belum terbit peraturan pemerintah yang mengaturnya. Baru pada tahun 2018, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 2018 tentang Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja.
Dengan terbitnya PP ini maka Perpres No. 10 tahun 2016 yang mengatur kekhususan pengangkatan P3K tidak dapat dipakai lagi sebagai dasar hukum. “Dalam Perpres batas waktu yang ditentukan untuk pengangkatan P3K hanya satu tahun sejak diterbitkan. Perpres dianggap sudah kadaluarsa,” jelas Arif Rianto lagi.
Kemudian pada 2019, akhirnya dilakukan rekruitmen P3K bagi dosen dan tendik di seluruh PTNB melalui formasi khusus. Namun dikarenakan proses rekruitmen P3K yang dimulai dari pengumuman, proses seleksi, pengumuman diterima sampai pemberkasan memakan waktu yang panjang yakni 2 tahun, maka Perpres No. 10 tahun 2016 menjadi tidak dapat diberlakukan lagi. Perpres No. 10 tahun 2016 hanya memberi batas waktu satu tahun. Akibatnya, muncul Permenpan-RB No.72 tahun 2020 yang menghapus jaminan kerja, masa kerja dan pensiun eks Pegawai Yayasan pada PTNB.
“Kontrak P3K bagi pegawai PTNB tidak lagi memiliki kekhususan hak dan kewajibannya sama dengan PNS namun diperlakukan sebagai pegawai P3K pada umumnya,” paparnya.
Sementara itu, menurut Rektor UPN ‘Veteran’ Yogyakarta, Dr. M. Irhas Effendi, permasalahan kontrak P3K ini memang harus segera diselesaikan. Berlarut-larutnya permasalahan ini akan sangat berdampak pada kinerja institusi.
“Ikatan Lintas Pegawai PTNB bersama dengan Forum Rektor PTNB telah melakukan pertemuan beberapa saat lalu untuk bersama-sama menyelesaikan permasalahan tersebut,” ujar Irhas Efendi.
Penyelesaian masalah tersebut, lanjut Irhas Efendi, meliputi penurunan jabatan akademik, masa kerja yang harus diakui, karir dosen dan tendik yang macet, penurunan gaji pokok dan mengupayakan formasi khusus bagi pengangkatan dosen dan tendik tahap ke-2.
“Salah satu solusi yang dapat dilakukan adalah dengan mengembalikan lagi formasi khusus pengangkatan P3K PTNB yang hak dan kewajibannya disamakan dengan PNS. Hal itu bisa dilakukan dengan merevisi atau melakukan addendum Permenpanrb No. 72 tahun 2020,” papar Rektor Irhas Efendi mengakhiri. (Nov)