Menakar Peluang Firli Bahuri di Pilpres 2024
Hendro Saky, Penulis adalah Ketua JMSI Aceh
PRABUMULIH, Suarasumsel.net — Desa Lontar di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, sedikit warga Indonesia mengetahuinya. Namun jika diajukan nama Firli Bahuri, dipastikan hampir seluruh penduduk di nusantara mengenalnya sebagai Ketua KPK RI.
Firli Bahuri sendiri menghabiskan masa kecilnya di desa itu, hingga kemudian menapaki karir sebagai perwira Polri dengan pangkat terakhir Komisaris Jenderal Polisi.
Terpilih sebagai Ketua KPK RI pada 2019, Firli Bahuri akan akhiri masa jabatannya di lembaga anti rasuah itu pada 2023 mendatang. Karenanya menarik kemudian mengajukan nama lelaki yang sejak usia 6 tahun itu telah hidup dalam keadaan yatim bersama ibunya sebagai alternatif kepemimpinan nasional 2024 mendatang.
Nama Firli Bahuri sendiri, jarang ditempatkan lembaga survei sebagai salah satu kandidat yang memiliki potensi untuk dijagokan pada Pilpres 2024. Sejumlah nama, seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Puan Maharani, Prabowo Subianto, dan Agus Harimurti yang kerap dijadikan barometer kepemimpinan nasional oleh banyak lembaga jejak pendapat.
Dibandingkan dengan Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan yang memiliki prosentase survei dalam periode masa jabatannya yang akan berakhir pada 2022, Firli Bahuri masih punya kesempatan lebih banyak satu tahun untuk meningkatkan elektabilitasnya sebab masa jabatannya baru akan berakhir 2023 mendatang.
Tentu bicara popularitas, nama Firli Bahuri tak perlu diragukan. Tapi soal elektabilitas perlu alat ukur yang jelas yang dapat dijadikan patokan seberapa banyak warga Indonesia yang akan memilihnya sebagai salah satu kandidat calon Presiden RI mendatang.
Lembaga survei seharusnya juga memasukkan nama Firli Bahuri, sebagai profil figur nasional yang dapat disandingkan dengan nama lainnya.
Dalam sebuah kesempatan bicara dengan seorang sahabat yang mengenal Firli Bahuri, Ia menyampaikan sejumlah ulasan tentang Firli Bahuri. Dikatakannya, yang dimiliki Firli Bahuri saat ini hanya jabatan Ketua KPK untuk bisa memantapkan dirinya sebagai salah satu Capres, diluar itu Firli tidak punya kekuatan politik.
Nah, ulas sahabat itu kemudian, Firli adalah sosok yang punya integritas kuat, dan mustahil dia menggunakan fasilitas dan jabatan yang Ia punya saat ini untuk dapat berkompetisi di pentas nasional.
Di era kepemimpinan Firli Bahuri, setidaknya puluhan kepala daerah dan dua menteri di tangkap KPK, dan belum genap tiga tahun Ia pimpin lembaga antirasuah tersebut, Dia telah berhasil menegaskan posisi KPK dalam tata kehidupan bernegara sesuai dengan UU KPK.
Ya, di era Firli, KPK memantapkan posisinya sebagai rumpun eksekutif dalam penegakan hukum penanganan korupsi dibawah Presiden RI.
Sahabat saya itu kembali menimpali, modal integritas dan moral saja tak cukup berkompetisi di perhelatan Pilpres, harus ada lebih dari itu, uang, dan juga dukungan partai politik.
Firli Bahuri sendiri, dalam suatu kesempatan berbincang dengan media mewacanakan perihal Presidential Threshold dan juga Pemilu 0 persen. Hal itu menurutnya guna mendapatkan pemimpin berkualitas. Sebab ongkos politik mahal menyebabkan para pemimpin terpilih kerap tersandera kepentingan pihak lain, dan bermuara pada perilaku tindak pidana korupsi.
Bahkan Firli menyebutkan bahwa, syarat untuk menjadi pejabat publik saat ini, harus ada popularitas, elektabilitas dan juga isi tas. Nah kondisinya dengan adanya Threshold itu, isi tas terlebih dahulu yang jadi pertimbangan, baru kemudian yang lain.
Kembali kepada peluang Firli, setidaknya bicara popularitas Ketua KPK itu memiliki tingkat keterkenalan yang tinggi, dan bahkan, pasca 2022 mendatang, ketika sejumlah figur seperti Ganjar dan Anies tidak lagi menjabat sebagai gubernur, Firli memiliki waktu lebih untuk mendongkrak elektabilitasnya sebagai alternatif kepemimpinan nasional.
Bangsa ini membutuhkan figur kepemimpinan yang kuat, punya integritas moral yang tinggi untuk mengabdikan kepada kepentingan bangsa dan negara. Dan Firli Bahuri memiliki hal itu, tapi alih-alih, meminjam istilahnya yang disampaikannya pada tulisan ini, untuk menjadi pemimpin di Indonesia, yang pertama di butuhkan adalah isi tas, baru kemudian yang lain. (Rilllis)
*Oleh Hendro Saky Penulis adalah Ketua JMSI Aceh