Pembatalan Pemilu 2024 Ibarat Deklarasi Ketidakmampuan di Panggung G20
JAKARTA — Wacana yang berkembang mengenai penundaan atau pembatalan Pemilu 2024 patut disayangkan terjadi ketika Indonesia tengah memimpin G20, kelompok 19 negara ekonomi terbesar di dunia plus Uni Eropa.
Orkestrasi pembatalan Pemilu 2024 bagaikan deklasari kegagalan dan ketidakmampuan Indonesia.
Demikian antara lain disampaikan pelaku komunikasi internasional Teguh Santosa ketika berbicara di Dapur Kedai Kopi bertema “Kata Pakar Bila Pemilu Ditunda” hari Minggu (6/3).
Teguh mengatakan, dirinya tidak menyangka ada pihak dari kalangan Istana yang membesarkan wacana pembatalan Pemilu 2024.
Tadinya dia mengira, pemerintah sedang fokus menyelesaikan berbagai persoalan ril yang ada di depan mata. Misalnya dampak dari kenaikan harga minyak mentah hingga menyentuh kisaran 130 dolar AS per barel dalam beberapa hari belakangan ini.
Atau, kelangkaan minyak goreng yang terjadi di tengah keberlimpahan mengingat Indonesia adalah negara produsen palm oil terbesar kedua setelah Malaysia. Atau, kelangkaan kedelai dan memicu peningkatan harga tempe dan tahu. Juga yang sedang ramai dibicarakan kemungkinan kenaikan harga gandum di pasar internasional yang dipicu invasi Rusia ke Ukraina.
“Semestinya pemerintah fokus pada persoalan semacam itu daripada memunculkan lagi wacana ini,” ujar Teguh Santosa yang juga dosen hubungan internasional Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta.
Dia menambahkan, kini di tengah masyarakat sudah mulai berkembang pula kekhawatiran situasi goro-goro akibat berbagai persoalan itu. Apalagi hampir dapat dipastikan belanja rumah tangga akan mengalami peningkatan pada bulan Ramadhan dan Lebaran Idul Fitri yang jatuh pada April dan Mei mendatang.
Selain Teguh, pembicara lain dalam diskusi tersebut adalah pemerhati demokrasi Titi Anggraini, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti, Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said, budayawan Dedy Miing Gumelar, Guru Besar FEB Universitas Brawijaya Prof. Candra Fajri Ananda, dan analis komunikasi politik Hendri Satrio.
Dalam pemaparannya, mantan Ketua bidang Luar Negeri Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang kini memimpin Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) itu juga membandingkan Indonesia dengan Venezuela yang pada bulan November 2021 lalu menggelar pemilihan umum.
Pemilihan umum di Venezuela bulan November 2021 disebut mega-election karena diselenggarakan di seluruh negara bagian dan kota untuk memilih gubernur, walikota, anggota parlemen negara bagian, anggota parlemen kota, serta anggota electoral college.
Untuk membangun kepercayaan dunia internasional pada kualitas pemilu dan demokrasinya, Venezuela mengundang sekitar 300 pemantau pemilu internasional dari berbagai negara. Teguh Santosa termasuk dalam daftar pemantau pemilu internasional tersebut.
Sebelumnya, di bulan Desember 2020 Venezuela juga menggelar pemilihan anggota Majelis Nasional. Namun dalam Pemilu 2020, Venezuela tidak mengundang pemantau pemilu internasional karena kasus pandemi yang masih tinggi.
Di bulan Mei 2018, Venezuela menggelar pemilihan presiden, dan melibatkan sekitar 150 pemantau pemilu internasional dari berbagai negara. Teguh Santosa juga berpartisipasi dalam kegiatan itu.
Apa yang dilakukan Venezuela memperlihatkan bahwa negara itu sadar bahwa pemilihan umum berfungsi memberikan legitimasi dan pengakuan politik, baik dari dalam maupun luar negeri, kepada pihak-pihak yang dipilih untuk duduk di lembaga eksekutif dan legislatif.
Teguh Santosa menambahkan, negara tetangga Timor Leste juga tengah menggelar pemilihan presiden. Lalu di bulan Juli 2022 Tunisia akan menggelar referandum, diikuti pemilihan presiden dan anggota parlemen pada bulan Desember 2022. (Rilis JMSI)