Terkait Rencana OC Kaligis, Satria Jaya SH, “Tidak Semua Paslon yang Kalah Bisa Mengajukan Gugatan ke MK,”


Pengamat Politik, Hukum & Pemerintahan dari Kongres Advokad Indonesia (KAI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), Satria Jaya SH.

MUARA ENIM, suarasumsel.net — Rencana pihak Pasangan calon (Paslon) Bupati dan Wakil Bupati No urut 3 atas nama H Nasrun Umar (HNU) dan Lia Anggraeni melalui kuasa hukumnya, OC Kaligis mengajukan gugatan sengketa Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) ditanggapi dingin Pengamat Politik, Hukum dan Pemerintahan dari Kongres Advokat Indonesia (KAI) Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel), Satria Jaya SH.

Saat dihubungi melalui ponselnya, Selasa (3/11) sekitar pukul 21.00 wib, Satria Jaya mengatakan, tidak semua pasangan calon yang kalah di Pilkada Serentak 2024 dapat mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena harus memenuhi syarat formil dan materil.

“Setidaknya pasal 158 UU Pilkada, mensyaratkan bahwa paslon kepala daerah yang dapat mengajukan gugatan pembatalan hasil keputusan KPUD ke MK apabila memenuhi syarat selisih suara mulai 2 persen hingga 0,5 persen tergantung dengan jumlah penduduk di daerah yang disengketakan,” katanya.

Satria Jaya menceritakan, saat ini rekapitulasi penghitungan perolehan sudah dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat Panitia Pemungutan Suara (PPS) hingga penghitungan di tingkat Kabupaten, kini prosesnya tinggal menunggu hasil rapat pleno KPUD untuk menetapkan Paslon Kepala daerah dengan perolehan suara terbanyak.

“Kendati demikian, hasil akhirnya bisa diperkirakan dari akumulasi hasil pemghitungan perolehan suara di tingkat Kecamatan, sebagaimana diketahui dari 22 kecamatan yang sudah melakukan rapat pleno di masing-masing kecamatan dalam Kabupaten Muara Enim,  Paslon nomor urut 2 H Edison SH MHum – Ir Hj Sumarni MSi (SONNI) unggul dengan perolehan 114.258 suara,” ceritanya.

Satria Jaya menerangkan, pasangan calon yang memiliki perbedaan suara tipis cenderung saling klaim kemenangan, UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, UU Pilkada memberikan kesempatan bagi paslon yang kalah atau tidak menerima hasil pilkada untuk menggugat ke MK.

“Namun sekali lagi, tidak semua paslon yang kalah bisa menggugat ke MK jika tidak memenuhi syarat sesuai pasal 158 UU Pilkada, gugatan ke MK baru bisa dilakukan apabila memenuhi syarat  ambang batas selisih suara,” terangnya.

Dirincikan Satria Jaya, Untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 250.000 jiwa, pengajuan gugatan ke MK dapat dilakukan jika terdapat selisih perolehan suara paling banyak sebesar 2 persen. untuk kabupaten/kota dengan jumlah penduduk lebih dari 250.000 jiwa sampai dengan 500.000 jiwa, pengajuan gugatan ke MK oleh calon wali kota/bupati bisa dilakukan jika selisih perolehan suara paling banyak sebesar 1,5 persen dari total suara sah hasil penghitungan suara.

“Sedangkan Kabupaten Muara Enim memiliki jumlah penduduk sebanyak 646 ribu, berdasarkan  pasal 158 angka 2 huruf c UU No 10 tahun 2016,
jumlah penduduk lebih dari 500.000 (lima ratus ribu) jiwa sampai dengan 1.000.000 (satu juta) jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1% (satu persen) dari total suara sah hasil penghitungan suara tahap akhir KPU Kabupaten/Kota,” rincinya.

Satria mengungkapkan, dari rekapitulasi penghitungan perolehan suara tingkat Kecamatan diketahui jumlah perolehan suara sah sebanyak 294.773 suara, sedangkan selisih antara perolehan suara Paslon 2 sejumlah 114.258 dengan Perolehan suara Paslon 3 sebanyak 105.053 adalah 9.205 suara atau setara dengan 3.123 % dari suara sah.

“Dengan demikian rencana OC Kaligis melaporkan sengketa Pemilukada ke MK diperkirakan akan kandas di meja panitera karena selisih suara yang disengketakan melebihi ambang batas 1 % dari suara sah sebagaimana ditetapkan pasal 158 angka 2 huruf c Undang – undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,” ungkapnya.

Masih menurut Satria Jaya, demikian pula alasan pengajuan gugatan lainnya, seperti insiden mati lampu yang dijadikan indikator dugaan manipulasi Hasil Perhitungan suara sungguh tidak berdasar sama sekali, mengingat permasalahan mati lampu adalah masalah teknis yang mana jika terjadi perubahan angka secara digital bisa dievaluasi kembali secara manual.

“Begitu pula dengan tidak adanya tanda tangan saksi Paslon 3 pada form C 1 karena saksi walk out tentunya tidak akan menghambat rapat pleno, KPUD akan mengakomidir kejadian tersebut sebagai kejadian khusus yang akan disampaikan ke tingkat yang lebih tinggi,” pungkasnya.

Satria Jaya, mencontohkan, sama halnya dengan tudingan ketidaknetralan penyelenggara Pemilu hanya karena perolehan suara Paslon 2 di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) mencapai 99 %, penggunaan suara rakyat pada Pemilu adalah hak bukan kewajiban, jadi rakyat tidak bisa dipaksa atau diarahkan memilih Paslon tertentu, kalaupun Paslon 2 memperoleh suara terbanyak tentunya kita tidak bisa menghalangi  matahari terbit,” tambahnya. (Novlis Heriansyah)

Berita Terkait

Top